Medio Maret 2006 Forum DAS NTT melakukan kunjungan ke DAS Cidanau, Provinsi Banten. DAS Cidanau memiliki luas 22.620 ha, merupakan salah satu sumberdaya pendukung pembangunan di wilayah barat Provinsi Banten dan salah satu lokasi industri strategis bagi Indonesia.
DAS Cidanau tersusun dari lebih kurang 18 Sub DAS dengan debit air 2.590 liter/detik. Sekitar 1.690 liter/detik digunakan memenuhi kebutuhan air masyarakat dan dunia industri di daerah Cilegon dengan nilai investasi US $ 1,936,463,291. Saat ini 4300 ha kawasan DAS Cidanau merupakan lahan kritis yang membutuhkan penanganan serius.
Begitu strategis dan pentingnya DAS Cidanau sehingga perencanaan pengelolaan sumberdaya ekosistim dan lahannya termuat dalam rencana Tata Ruang Daerah, Bappeda Provinsi Banten.
Hal yang menarik dalam pengelolaan kelestarian DAS Cidanau adalah kesediaan dunia industri dan pemda membayar jasa lingkungan dari usaha konservasi daerah hulu yang dilakukan masyarakat.
Kompetisi usaha terbangun karena persyaratan jasa lingkungan mudah dilakukan masyarakat. Setiap petani di daerah hulu harus mempunyai 500 pohon dalam 1 ha lahan garapannya. Penentuan 500 batang pohon yang mendapatkan pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp 1,2 juta/ha/tahun dilakukan secara partisipatif dan tidak berlaku untuk jenis tanaman legume.
Masyarakat menentukan jenis pohon yang akan dipelihara untuk mekanisme jasa lingkungan. Selanjutnya pengelola jasa lingkungan melakukan penomoran dan pendataan biofisik tanaman termasuk pemanfaatan GPS untuk menentukan titik koordinat setiap pohon.
Tahun 2006, Pemerintah Provinsi Banten membayar jasa lingkungan sebesar Rp 550.000.000 kepada masyarakat hulu untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan yang mendukung fungsi konservasi sumber daya alam.
Prinsip serupa juga dilakukan oleh dunia industri. PT Krakatau Tirta Industri (KTI) yang memanfaatkan air guna mensuplai kebutuhan dunia industri di kawasan Cilegon melaksanakan pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp 175.000.000/ tahun yang
diperuntukkan bagi pengembangan hutan kemasyarakatan di daerah hulu DAS Cidanau.
Komitmen pembayaran jasa lingkungan juga dilakukan Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan industri lain yang berada di kawasan hilir maupun pihak yang memanfaatkan sumber daya air.
Melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan, diharapkan dapat mengendalikan laju perambahan dan kerusakan hutan di daerah hulu sekaligus memberdayakan kesejahteraan masyarakat disekitar DAS agar lebih kompetitif dalam menjaga hutan dibandingkan dengan pemanfaatan tata guna lahan lainnya.
Guna meningkatkan kerja kolaboratif para pihak dalam melestarikan Cagar Alam Rawa Danau yang merupakan kawasan hulu DAS Cidanau dibentuklah Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC). Letak CA Rawa Danau meliputi tiga kecamatan yakni Kecamatan Padarincang, Pabuaran dan Mancak, Kabupaten Serang. Luas Rawa Danau mencapai 2.500 ha. Legitimasi pembentukan FKDC melalui Surat Keputusan Gubernur Banten.
FKDC bersama pemerintah dan multi stakeholder setempat berupaya mencari sumber-sumber pendanaan dari pihak luar untuk mendukung mekanisme pembayaran jasa lingkungan dengan mengacu pada Protokol Kyoto.
Sejenak kita ke belahan dunia barat yakni Republik Federal Jerman, bagaimana mereka mengelola Sungai Rhine yang merupakan salah satu sungai terpanjang di Eropa dengan panjang 1.320 kilometer, melintasi sejumlah Negara, seperti Swiss, Jerman, dan Belanda, serta Luksemburg, Perancis, dan Belgia.
Sungai dengan bagian hulu di Swiss, menurut Agus Mulyadi, dipelihara dengan sangat serius oleh negara-negara itu. Komisi khusus dibentuk untuk mengurusi sungai, terutama dari pencemaran. Padahal, hingga tahun 1970-an, Rhine adalah sungai dengan tingkat pencemaran tinggi.
Hewan sungai menyingkir, termasuk salah satu ikan khas, yakni ikan salmon. Banyaknya industri yang ada di daerah aliran sungai, termasuk di Koln menjadi penyebabnya.
Di semua Negara yang dilintasi Rhine lalu dibentuk komisi penyelamat sungai. Mereka bekerja sama untuk kembali memulihkan, menyehatkan sungai. Hal itu dilakukan pula di Negara bagian North Rhine Westphalia, Jerman dengan ibukota Koln .
Brigitte von Danwitz, State Agency for Nature, Environment and Consumer Protection North Rhine Westphalia (LANUV-NRW), kepada para duta muda lingkungan dari 18 Negara pada 6 November lalu di Leverkusen, mengatakan, penanganan Rhine dimulai pada tahun 1963 dengan dibuat perjanjian oleh negara-negara yang dilalui sungai itu. Dibentuklah International Commission for the Protection of the Rhine (ICPR).
”Organisme yang hidup di Sungai Rhine pada tahun 1965 hingga 1975 turun drastis. Lalu, naik lagi hingga menjadi 160 spesies pada tahun 1995,” ucap Brigitte. Kondisi ini serupa dengan tahun 1990-an ketika di Sungai Rhine hidup sekitar 160 spesies.
Upaya penyelamatan sungai secara bersama-sama telah memetik hasil. Saat ini Rhine menjadi tempat yang nyaman, juga bagi hewan yang sebelum terjadinya pencemaran berat hidup di sepanjang aliran sungai itu.
Sumber : HU Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar